Dentolaser : Alat Terapi Gigi Dan Mulut Dengan Menggunakan Laser Ciptaan UNAIR - Dental ID
Dental ID
Home Dokter Gigi Kampus Dentolaser : Alat Terapi Gigi Dan Mulut Dengan Menggunakan Laser Ciptaan UNAIR

Dentolaser : Alat Terapi Gigi Dan Mulut Dengan Menggunakan Laser Ciptaan UNAIR

Peneliti Universitas Airlangga mengembangkan alat bernama Dentolaser yang bisa digunakan oleh para dokter gigi sebagai alat terapi gigi dan mulut dengan menggunakan laser. Alat Dentolaser itu dikembangkan oleh peneliti dan dosen Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Dr. Suryani Dyah Astuti.

Bersama dengan tim peneliti yakni Dr. Ernie Maduratna dan Deni Arifianto, Dyah mengembangkan dua jenis alat Dentolaser. Perbedaan alat tersebut terletak pada panjang gelombang yang bisa dijangkau oleh alat tersebut. Masing-masing memiliki panjang gelombang 405 nanometer dan 600 nanometer.

Kegunaannya pun berbeda. Dentolaser dengan panjang gelombang 405 nm digunakan untuk membunuh bakteri, sedangkan alat yang bisa menghasilkan panjang gelombang 600 nm difungsikan untuk foto biomodulasi sel.

“Yang pertama (Dentolaser 405 nm) untuk membunuh bakteri, sedangkan yang kedua (Dentolaser 600 nm) untuk foto biomodulasi sel seperti terapi akupunktur, penyembuhan luka, dan rehabilitasi medik,” tutur Dyah.

dentolaser 2

Penyakit gigi dan mulut yang bisa diatasi dengan Dentolaser antara lain karies pada gigi (gigi berlubang), penyakit periodontitis, orthodontis, luka, berdarah, atau inflamasi.

Ia memilih menggunakan laser untuk terapi karena metode terapi dengan fotodinamik memanfaatkan cahaya, fotosensitizer, dan oksigen. Ketiga unsur itu menghasilkan radical oxygen species (ROS) yang akan menyebabkan kematian pada sel yang tidak dikehendaki seperti kanker, mikroba, bakteri, dan virus.

“Tipe kematian selnya tidak seperti antibiotik yang menyebabkan perubahan pada DNA. Kalau ROS kematiannya adalah perusakan membran sel. Nah kalau membran sel rusak, air akan masuk dalam sel dan mengakibatkan lisis atau kematian pada sel. Tidak menyebabkan adanya resistensi pada mikroba tersebut,” tutur Dyah.

Dengan adanya keunggulan yang dimiliki oleh terapi fotodinamik, peneliti yang memulai riset terapi fotodinamik sejak tahun 2007 itu akhirnya memilih menggunakan laser di bidang kesehatan. Sinar yang dihasilkan laser bersifat monokromatik, koheren, dan dayanya lebih tinggi sehingga lama paparan akan lebih pendek. Untuk itulah, ia memanfaatkan laser yang bisa dimanfaatkan untuk mengobati penyakit gigi dan mulut, serta penyakit-penyakit lainnya.

Baca  Irma Josefina Savitri : Dari Keluargalah Kekuatan Dan Cita-Cita Didapat

dentolaser

Produk Dentolaser mulai dikembangkan sejak tahun 2015. Saat itu, Dyah dan tim mengikutsertakan produk penelitiannya dalam program Calon Pengusaha Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT). Dari situlah, mereka berhasil membuat dua produk Dentolaser.

Sebelum ada produk Dentolaser, biasanya para dokter gigi mengobati penyakit gigi dan mulut dengan menggunakan antibiotik. Karena sifat antibiotik yang bisa mengakibatkan resisten, maka produk Dentolaser ini memiliki keunggulan tersendiri. Yakni, tidak menimbulkan resistensi, dan bisa menjangkau tempat-tempat sulit di rongga mulut.

“Misalnya, di bawah akar gigi maka bisa menggunakan alat Dentolaser ini. Bisa ergonomis,” tuturnya.
Alat tersebut merupakan perangkat yang mudah digenggam, mudah dibawa ke mana-mana, dan menggunakan baterai. Alat tersebut memiliki serat fiber yang menghantarkan sinar laser yang bisa meminimalisir rugi daya.

Deni, salah satu tim Dentolaser, mengatakan bahwa alat tersebut bisa bekerja dengan tiga mode. Yaitu, sinar yang selalu menyala, sinar yang redup lalu menjadi terang, dan sinar yang berkedip (mati lalu nyala dan mati lagi). Laser ini bisa bertahan selama 40 detik untuk satu kali penyinaran. Sedangkan, untuk daya baterai, laser ini bisa bertahan hingga satu bulan.

Pemakaiannya bergantung dokter yang bersangkutan. “Jadi, kalau sinarnya biru, intensitasnya tinggi dan akan terasa lebih panas. Agar tidak terus menerus, pakai mode blinking. Kalau dari rendah ke besar, pemakaian tergantung dokter supaya pasien tidak langsung kaget karena panas,” tutur Dyah menambahkan.

“Misalnya, pada penyakit periodontitis atau gusi yang melorot. Gusi yang melorot itu disebabkan di pocket gigi terdapat banyak bakteri. Pada saat praktik, gusi diturunkan dan disinari di bagian pocket tersebut,” imbuh Dyah.

Berdasarkan penelitian in vitro yang pernah ia lakukan, metode kombinasi dengan antibiotik Doxycycline dan sinar laser bisa mematikan bakteri hingga 86 persen. Namun, pengajar Departemen Fisika itu menerangkan, Dentolaser tak harus dikombinasikan dengan antibiotik. Hanya saja, memang uji klinik itu diterapkan pada gusi yang melorot. Uji klinik pada gigi dilakukan oleh rekan satu timnya yang juga dokter gigi yaitu Ernie.

Baca  Para Alumni FKG USU Minta SBY Mengevaluasi Cornelis Buston

“Nggak harus pakai antibiotik pun bisa. Kami padu dengan Doxycycline karena kalau gusinya melorot gigi akan cenderung rapuh. Sedangkan, Doxycycline cenderung merekatkan. Akhirnya, diberi sedikit Doxycycline agar dibersihkan dari bakteri baru kemudian disinari. Bakteri yang tidak bisa mati dengan antibiotik baru kita bunuh dengan laser ini,” terangnya.

Namun, ia kembali menekankan penggunaan alat yang bisa bertahan hingga satu bulan ini tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk terapi kesehatan gigi, tapi juga dokter kulit untuk mengobati jerawat dan rehabilitasi medik.

Sejak tahun 2016 sampai sekarang, produk Dentolaser ini sudah dalam proses registrasi hak paten di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, pada awal bulan Maret, tim peneliti Dentolaser berhasil mendapatkan hibah sebesar Rp 4 miliar dari Direktur Jenderal Penguatan Inovasi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI melalui judul riset “Inovasi Produksi Dentolaser Antimikroba dan Biomodulasi Sel untuk Akselerator Respon Penyembuhan Penyakit Gigi dan Mulut”.

“Hibah itu kami gunakan untuk hilirisasi produk yang nanti dapat bermanfaat bagi masyarakat. Caranya adalah dengan membangun industri perguruan tinggi. Kami diberi hibah berupa alat-alat, pengurusan sertifikasi, dan sebagainya. Dengan adanya industri perguruan tinggi, mahasiswa-mahasiswa kita yang bekerja di bidang itu, bisa belajar di sana,” tutur Dyah.

Targetnya, produksi massal Dentolaser akan dilakukan pada tahun 2018. Sedangkan, pada tahun 2017 pihaknya akan membangun industri perguruan tinggi dan improvisasi alat. Biaya produksi alat tersebut saat digunakan untuk penelitian memakan ongkos antara Rp 2,75 sampai 3 juta. Namun, ia berharap, dengan adanya produksi massal, harga tersebut bisa ditekan.

“Saat ini alatnya kan masih skala prototipe dan kita membuatnya secara handmade. Kalau ingin masuk ke industri dan diterima pasar, perlu kualitas yang baik. Selebihnya akan kita assembling (rakit), dan melewati quality control (uji kualitas). Kalau sudah sesuai maka akan diproduksi massal. Lalu, kita akan adakan tes pasar. Selain itu, ide dan desain itu semuanya dari kita (tim peneliti),” ujar Deni menambahkan.

Baca  Mediglow : Permudah Dokter Gigi Periksa Pasien

 

Terima kasih

http://ristekdikti.go.id

Iklan dipersembahkan oleh Google
(Visited 227 times, 1 visits today)

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Ad