Cacat Fisik: Hambatan Menjadi Pejuang Kesehatan Gigi dan Abdi Negara?

Oleh: drg. Mochamad Nur Ramadhani (Anggota PDGI Kota Cimahi)
Editor: MFA
Penulis adalah seorang dokter gigi penyandang disabilitas fisik pada ekstremitas bawah dengan kelainan amputasi pada kaki kanan.
Dalam pemaparan berikut akan disampaikan teori, pengalaman, perjuangan, pengabdian, dan pandangan penulis sebagai dokter gigi difabel salah satunya berkenaan dengan peristiwa teman sejawat di Indonesia saat ini.
Manusia akan mendahului Tuhan apabila merasa overconfident dengan kondisi tubuh yang sempurna, khususnya dokter gigi, karena kita tidak pernah tahu apakah kondisi ini akan bertahan selamanya atau tidak.
Kecelakaan lalu lintas, akibat pekerjaan, penyakit berat, maupun bencana alam yang dapat terjadi kepada siapapun dan kapanpun menjadi penyebab dokter gigi tidak dapat menjalankan praktiknya dengan kondisi tubuh sebelumnya. Mayoritas bagian tubuh yang terkena adalah pada ekstremitas bawah.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kualitas pelayanannya akan menurun atau menjadi tidak laik praktik?
Secara hukum, syarat untuk mendapatkan Surat Ijin Praktik (SIP) adalah surat sehat dan pernyataan laik praktik. Benar bahwa dimensi sehat secara positif diutarakan oleh World Health Organization (WHO) meliputi sehat fisik, mental, sosial dan spiritual, tidak hanya terbebas dari penyakit.
Namun, kriteria sehat dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan hanyalah sebatas sehat fisik yang tidak mengganggu aktivitas praktiknya, secara spesifik yang dimaksud misalnya menderita tuberkulosis yang merupakan penyakit menular.
Standar baku fisik lainnya yang ditentukan mengacu pada fungsional dari alat gerak yang aktif dapat digunakan. Kemudian dikatakan laik praktik apabila dokter tersebut tidak memiliki kelainan mental, sosial, dan spiritual.
Menurut teori dental ergonomi, penentuan perawatan gigi dan mulut menggunakan dental unit yang aman bagi operator hanya berdasarkan pada posisi tubuh bagian atas; posisi antara operator, pasien, dan perawat gigi sebagai asisten mengikuti arah jarum jam, sementara posisi detail setiap perawatan dijelaskan antara posisi jari, tangan, beserta instruksi geraknya. Sebagai contoh tindakan pencabutan gigi geraham bawah kanan (dari arah pasien).
Sederhananya, operator dituntut untuk berada di posisi pukul 11-12, artinya hampir di belakang pasien, menggunakan tangan kirinya untuk memfiksasi rahang dan gigi yang akan dicabut.
Selanjutnya, tangan kanan yang aktif untuk menjalankan prosedur pencabutan gigi sesuai dengan kompetensi dokter gigi yang dipelajarinya.
Dalam contoh di atas, tidak diinstruksikan dokter gigi harus menggunakan kedua kaki, memiliki kuda-kuda yang kuat dengan kakinya sendiri (bukan seperti bela diri), bahkan tidak diinstruksikan untuk melakukan pencabutan gigi tersebut dalam posisi berdiri.
Hal yang paling esensial yaitu saat melakukan pencabutan gigi, operator harus memiliki posisi tubuh yang statis sehingga dapat menahan gerakan yang diakibatkan oleh proses pencabutan gigi. Hal tersebut dapat secara fleksibel menggunakan dua kaki, satu kaki, bahkan kursi roda yang dikunci agar tidak bergerak saat memberikan tindakan. Begitupun dengan perawatan lainnya, seperti mencetak rahang, penambalan, pembersihan karang gigi, bedah periodontal, anestesi, dan lainnya.
Perkembangan ilmu (four handed dentistry) dan teknologi yang begitu pesat saat ini memungkinkan dokter gigi melakukan praktik dengan mudah tanpa mengurangi esensi keselamatan pasien, operator dan paramedis lainnya yang terlibat.
Selain itu, Indonesia memiliki sumber daya manusia yang cerdas, kompetitif, serta berjiwa pengabdian tiada lain berasal dari pikiran dan jiwanya yang sehat dan memungkinkan untuk menciptakan sebuah produktivitas secara sosial.
Dengan demikian, dokter gigi dengan disabilitas fisik pada ekstremitas bawah dapat dikategorikan sebagai manusia yang sehat dan laik praktik kedokteran gigi sesuai dengan kompetensinya.
Berbagai inovasi perekrutan tenaga kesehatan dan medis yang dapat dilakukan sejak masa pendidikan serta profesi salahsatunya dengan melakukan quality assesment sesuai dengan kebutuhan penempatan kerjanya agar kredibilitas para penyandang disabilitas fisik yang bervariasi dapat meningkat.
Konsep kriteria, penilaian, dan capaian penyandang disabilitas sebagai human health resource merupakan kajian dalam penelitian tesis saya sebagai kandidat Master of International Health.
Sesuai dengan kajian teori, dokter gigi dengan kelainan pada ekstremitas bawah tidak mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada pasien di lingkungan praktiknya sebagai general practitioner.
Menyinggung kasus drg. Romi Syopfa Ismael dari Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat yang secara luar biasa mendapatkan prestasi sebagai peringkat 1 seleksi PNS namun dianulir oleh pemerintah kabupaten setempat untuk menjadi seorang abdi negara, telah membangkitkan gairah kritik saya terhadap profesionalisme, konsistensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam keputusan pemerintah.
Suatu kebetulan bagi saya, Kabupaten Solok menjadi sebuah kenangan mendalam perihal pengabdian, sebab pada tahun 2017 saya bersama Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi (PSMKGI) melaksanakan bakti sosial tingkat nasional di kabupaten tersebut.
Apabila mengacu pada asas profesionalisme dan yang bersangkutan masih diragukan kapabilitasnya, maka dapat dilakukan proses quality assesment sesuai dengan konsep yang akan saya ajukan sebagai dokter gigi.
Idealnya hal ini dilakukan sebelum diputuskan adanya pembatalan status sebagai PNS. Hal tersebut juga berkaitan dengan konsistensi pemerintah dalam proses seleksi hingga pengambilan keputusan.
Jika pemerintah menghendaki profesionalitas dan konsistensi dari CPNS, maka dalam prosesnya pun pemerintah seyogyanya juga bersikap profesional, konsisten, transparan, dan akuntabel serta tidak dipengaruhi oleh pihak siapapun.
Dengan demikian saya simpulkan bahwa status dokter gigi sebagai penyandang disabilitas fisik dapat terjadi kepada siapapun dan kapanpun. Tak terkecuali bagi yang memiliki kekurangan pada ekstremitas bawah tetap dapat melakukan praktik dokter gigi seperti pada umumnya, apalagi di era modern saat ini karena di level dunia pun sudah terbukti keterbatasan fisik tidak menjadi hambatan yang berarti.
Secara profesional, perekrutan penyandang disabilitas fisik mulai dari tingkat pendidikan sampai dengan profesi di bidang kesehatan dapat ditingkatkan kredibilitasnya melalui quality assesment. Saya pribadi berharap, pemerintah dapat konsisten pada keputusan awal sesuai dengan hasil seleksi CPNS sehingga drg. Romi Syopfa Ismael dapat menjadi PNS dokter gigi di Kabupaten Solok Selatan tanpa ada keraguan atas keterbatasan fisiknya.