
Studio lightning menggantung di atas langit-langit. Pantulan bayangan terlihat dari cermin yang berada di hadapan dental unit. Menggabungkan klinik gigi sekaligus studio foto dalam satu ruang.
“Silahkan duduk,” Sang pemilik terlihat sibuk dengan anak anaknya yang rewel.
Bertubuh atletis dengan brewok, sang pemilik klinik adalah dokter gigi yang paling populer di Instagram dengan akun @griyarr. Punggawa dental photography di Indonesia ini bernama drg. Griya Ridha Raharja.
Tidak pernah terbesit dalam pikirannya untuk berurusan kamera dan lensa. Mahasiswa FKG UNPAD angkatan 2004 ini menyelesaikan studinya tahun 2011. Setahun setelahnya, Griya (sapaan drg. Griya Ridha Raharja) kembali ke kampung halamannya, Aceh. Di tanah rencong tersebut, lelaki kelahiran 33 tahun silam ini menjadi dokter gigi di RS PT Arun NGL Lhokseumawe.
Setelah kontraknya berakhir, dia memutuskan keluar dari zona nyamannya untuk menjamah Ibukota. Selanjutnya, anak bungsu dari dua bersaudara ini membuka klinik pribadi di bilangan Karang Tengah Raya, Cilandak, Lebak Bulus.
Dengan jumlah followers sebanyak 56 ribuan disertai rerata ratusan orang penyuka tiap postingannya. Suami dari drg. Asti Halimah Rachmiati kini menikmati privilese sebagai selebgram. Media sosial pula yang menjadikan dia rutin diajak menjadi pembicara baik tentang dental photography ataupun konservasi.
Kali ini dental.id berkesempatan menyambangi dan berbicang dengannya di kliniknya, Griya Dental Centre, di Jalan Karang Tengah Raya no. 18, Lebak Bulus, Jakarta Selatan di Minggu pagi (4/7) kemarin.
Kenapa Anda tertarik mendalami dental photography ?
Pertama saya sama dengan dokter gigi lainnya, yang mungkin tidak sempat foto setiap kasus. Di sisi lain, waktu saya di Aceh, saya masuk ke dalam zona nyaman. Di sana saya menangani pasien dari jam 7 pagi sampai 4 sore dengan kapasitas 25 hingga 30 pasien tanpa perawat dan asisten.
Di situ saya mendapat banyak pengalaman. Saya dulu pada saat di Aceh mau pindah ke Jakarta. Saya menjadi stress karena meninggalkan zona nyaman. Pada saat memutuskan pindah, saya agak ragu. Beberapa klinik yang saya masukkan lamaran juga tidak ada respon. Buka klinik di sini juga sulit, soalnya klinik tiap seratus meter ada. Jadinya saya harus berbeda.
Saya mulai dari estetik, bagaimana tambalan yang bagus. Untuk meningkatkan skill, saya menggunakan fotografi untuk dokumentasi. Pakai handphone. Saat klinik saya jalan, saya belajar menggunakan kamera. Saya learning by doing. Coba-coba saja dan lihat di Youtube baru ke pasien. Akhirnya sampai sekarang ini.
Oke Youtube. Tapi pada akhirnya tidak semua bisa seperti Anda kan?
Saya sih memang karena pengalaman banyak pasien di Aceh, saya menjadi terbiasa. Sebenarnya belajar doang tidak cukup. Harus ada bahan dan tools yang bagus juga. Ada juga dokter gigi yang ingin menjadi saya, tapi tidak bisa. Ya lagi-lagi faktor ‘tangan si dokter’ juga. Semua tidak terjadi dalam satu-dua hari saja kan.
Apa yang memotivasi Anda hingga sekarang ini?
Saya banyak melihat dari sosial media. Ada teman-teman seperti dokter Ivan Hadiutomo dari Jakarta Oni Eriyanto dan Alvin Cipta dari Surabaya. Mereka sudah main foto duluan. Cuma mereka tidak segencar saya. Karena saya memang rutin posting.
Mungkin itu membuat orang mengenal saya. Padahal dulu, full denture saja saya minta orang lain yang susun. Apalagi persentasi. Di kuliah saya selalu kabur dan tidur (tertawa).
Di Instagram Anda, banyak postingan endorse produk. Bagaimana Anda menjadi objektif dalam review produk?
Memang sih, saya banyak diminta untuk review produk. Tapi saya tidak mau banyak pake produk. Saya mau, satu dulu dikuasai baru yang lain. Saya selalu cari bahan yang price tidak mahal. Saya bukan tipikal yang banyak uang.
Saya suka barang murah kualitas oke. Kalau bahan mahal, kita charge pasien mahal juga. Kasihan pasien. Barang saya yang paling mahal miksroskop doang. Itu investasi jangka panjang saya.
Apakah pekerjaan Anda selalu bagus atau memuaskan?
Ah, tidak juga. Saya menjadikan pasien sebagai sarana latihan saya. Ya, kalau jelek hari itu, ya jelek. Cara saya improve kerja saya dengan foto lalu evaluasi. Kalau saya tidak melihat foto, saya tidak belajar sendiri. Dari foto itu secara tidak langsung skill menjadi terasah. Apapun yang saya posting harus sempurna. Nanti lama-lama terbiasa.
Anda cukup terkenal dengan mengerjakan kasus-kasus spesialistik. Dengan gelar anda sebagai general practitioner, apakah tidak ada cibiran dari luar?
Selama ini tidak ada yang negatif sih. Bahkan senior-senior yang spesialis mendukung saya. Kita sama-sama satu visi. Bahkan orang-orang luar negeri juga memuji. Kandang-kadang mereka meminta opini saya juga.
Jadi saya yang bisa sebenarnya cuma membawa materi dental photography. Kalau bawa materi veneer, saya butuh pendamping (baca: dokter spesialis).
Bisa dibilang Anda sudah berada di zona nyaman. Tidak berminat melanjutkan ke spesialistik?
Saya suka semua, tapi saya tidak mau dibilang bekerja diluar kompetensi. Saya nggak mau ngambil spesialis, karena saya suka semua. Dengan dokter gigi umum juga saya tidak men-charge pasien dengan harga yang lebih mahal.
Gelar spesialis tentu lebih mahal, kalau tidak pasti disorot sama sejawat lainnya. Nggak semua pasien punya uang banyak. Kalau saya mengerjakan dengan baik kasus-kasus dengan status GP (general practitioner) tentu saya lebih dibicarakan dan dikenal.

Bagaiamana kesan terbaik Anda saat menjadi selebgram?
Banyak. Kalau banyak yang like. Kalau ada masukan juga, saya bisa lebih banyak belajar. Yang paling berkesan itu kalau ada pasien yang tidak dapat dikerjakan oleh sejawat lainnya dan dioper kepada saya. Itu sesuatu banget sih.
Tidak berniat merambah ke tingkat Internasional?
Insya Allah bulan depan pengalaman internasional pertama saya. Tanggal 28-30 Juli mendatang saya diundang ke Malaysia. Banyak lagi. Rencananya tahun depan ke Saudi Arabia.
Bagaimana prospek dental photography?
Sekarang dunia internasional dental photography sangat booming. Saya aja diundang terus nih. Apalagi dengan adanya media sosial. Dulu-dulu kan fotografi cuma dipakai untuk laporan kasus, penelitian, dan rekam medis.
Intinya selama masih ada yang berbagi dan sharing, saya yakin ilmu itu akan terus berkembang. Dental photography ini juga berguna untuk yang baru lulus (baca: dokter gigi). Kalau yang senior enak, sudah dikenal banyak pasien.