Cerita berikut diambil dari buku Otobiografi Oei Hong Kian, berjudul Oei Hong Kian, Kind van het Land, Peranakan-Chinezen in Drie Culturen dan diterbitkan Intisari (Maret 2001) dengan judul Oei Hong Kian, Dokter Gigi Soekarno, Peranakan Yang Hidup dalam Tiga Kebudayaan
Kisahnya dimulai ketika pada suatu hari di bulan Februari 1858 Oei Tiauw Ting duduk di puncak bukit menghadap ke teluk yang luas di Fujian atau Hokkian. Tujuan Tiauw Ting pergi ke tempat sunyi itu untuk bisa berpikir dengan tenang tentang masa depannya. Ayahnya sudah tua dan sebagai anak sulung tanggung jawabnya berat.
Sejak lahir 30 September 1830 ia selalu mengalami kesusahan. Bencana alam, banjir, kelaparan, wabah, dan banditisme melanda negaranya yang imbasnya menimpa keluarganya. Bahkan dengan kerja keras pun hasil sawah tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Untung masih ada usaha penangkapan ikan. Namun laut pun tidak selalu aman. Perompak sering bermain kucing-kucingan. Kemudian menyusul ancaman perang dari Inggris dan pecahlah Perang Candu tahun 1839. Cina yang enggan dijadikan tujuan ekspor candu tak berdaya menghadapi kapal besi yang pipih. Pada perjanjian Nanking 28 Agustus 1842 pemerintah Qing dipaksa melepaskan Hongkong. Lima pelabuhan harus dibuka, termasuk Xiamen. Ketagihan candu merebak mengerikan. Pemerintah Qing terpaksa menaikkan pajak untuk membayar utang pada Barat. Para warlord, yaitu para penguasa setempat yang memiliki pasukan bersenjata, ikut meminta cukai. Rakyat tambah menderita.
Pada saat itulah ayah Tiauw Ting diam-diam menghubungi seorang thauke, orang yang secara berkala bolak-balik dari Nanyang (arti harfiah: Laut Selatan, namun makna sebenarnya kawasan Asia Tenggara – Red.) ke Cina. Thauke bisa membantu mereka yang ingin mengadu untung dengan membawa mereka naik jung laik layar dan menghubungkan mereka dengan rekan senegaranya di perantauan. Ia merekomandasikan Pulau Jawa yang memiliki iklim baik, cocok untuk tempat tinggal. Di sana banyak orang Cina. Hubungan erat antara orang sedaerah, terutama yang nama keluarganya sama, dipegang teguh. Lagi pula thauke itu mengenal banyak perantau yang bermarga Oei. Itulah yang mendorong Oei Tjeeng Gwan, ayah Tiauw Ting, untuk mengirim ketiga anak laki-lakinya ke Semarang. Waktu itu Tiauw Ting berusia 28 tahun. Keputusan ayah mereka sudah bulat.
Dijodohkan di kapal
Mereka akan berangkat sehari setelah pesta musim semi (Tahun Baru Imlek – Red.) tanggal 25 Februari. Thauke itu ternyata orang yang praktis. Ia memberi tahu ukuran keranjang yang tepat untuk dibawa, supaya bisa ditumpuk dan tidak makan tempat. Ia juga memberi tahu pakaian yang cocok dibawa untuk dipakai di tempat beriklim panas. Atas petunjuknya pula mereka membawa mangkuk porselin yang bisa dijual mahal di Jawa. Atas inisiatif sendiri Tiauw Ting juga berhasil membeli satu perangkat barang kerajinan lak indah dengan harga murah.
Ibunya tidak bisa menahan air mata ketika ketiga putranya pamit. Sebuah kapal nelayan milik teman membawa mereka ke Xiamen. Di sini jung besar sudah menunggu.
Biarpun Tiauw Ting senantiasa mabuk laut, ia mendapat banyak kenalan di kapal sehingga dalam beberapa hari mereka sudah seperti keluarga. Di antara penumpang itu ada seorang pria berusia 49 tahun, Oei Kim San namanya, yang kembali ke Semarang setelah menjenguk keluarga. Karena kebetulan nama keluarganya sama, ketiga bersaudara itu diminta untuk tinggal di rumahnya.
Setelah lebih akrab, saat cuma berdua dengan Tiauw Ting, Paman Kim San bercerita tentang teman dan tetangganya, The Sie Tiong, yang juga dari Hokkian, pedagang porselin dan keramik. Usahanya maju. Mungkin Tiauw Ting bisa belajar berdagang padanya.
Kebetulan Paman Sie Tiong juga mempunyai putri cantik berusia 17 tahun. Gadis itu dilahirkan bertepatan dengan tibanya kiriman piring dari Cina ke rumahnya. Piring itu ternyata menghasilkan banyak uang, sehingga ibunya, seorang wanita Jawa, memberinya nama Piring. Paman Kim San bertanya apakah Tiauw Ting keberatan kalau dijodohkan dengan Piring? Tiauw Ting yang tidak tahu siapa-siapa di rantau, tidak keberatan.
Setelah berlayar 30 hari, ada pengumuman bahwa mereka sudah tiba di Semarang. Semua bergegas ke tempat penyimpanan barang. Dermaga tempat jung itu berlabuh disebut bum. Setelah terjadi kesepakatan antarathauke dengan pria-pria yang menggerak-gerakkan tangannya sebagai isyarat, tak lama kemudian orang-orang itu datang membawa perahu-perahu kecil yang akan membawa thauke dan para penumpang ke kota. Tiauw Ting dan saudaranya ikut Paman Kim San naik gerobak ditarik sapi, karena mereka tidak tinggal di tepi sungai. Ternyata Paman Kim San tinggal di tepi pecinan. Rumah-rumahnya mirip di Cina. Mereka disambut ramah oleh istri Paman Kim San yang sayang hanya bisa berbahasa Hokkian sedikit.
Keesokan harinya setelah sarapan Tiauw Ting sudah diajak berkunjung ke Paman Sie Tiong, teman Paman Kim San yang dibicarakan di kapal. Karena sedang sibuk, mereka berjanji akan kembali malam harinya. Dari situ mereka langsung ke kantor pemerintahan untuk mengurus pendaftaran sebagai pendatang baru. Kantor itu kebetulan dekat dengan Klenteng Tay Kak Sie. Setelah itu mereka juga tidak lupa ke Klenteng Sam Po Kong.
Tanpa membuang waktu malam itu juga Paman Kim San melamar Piring untuk Tiauw Ting. Tentu setelah sebelumnya dibicarakan antara Bibi Kim San dan Sie Tiong. Perkawinan akan dilaksanakan tiga minggu kemudian.
Tiba saat sibuk untuk para wanita. Selama menunggu hari besar itu Tiauw Ting banyak bicara dengan calon mertuanya, tetapi calon istrinya masih rahasia. Paman Sie Tiong menyarankan agar mereka sebaiknya kelak tinggal di Magelang.
Sebulan setelah pesta perkawinan besar-besaran itu pasangan baru itu berangkat ke Magelang. Pagi-pagi buta Piring harus pamitan pada ibunya untuk ikut suami yang masih asing. Mereka naik kereta yang ditarik empat kuda kurus. Di tanjakan Gombel yang terkenal terjal, penumpang harus turun dan kuda diganti dengan empat ekor sapi. Piring ditandu. Sampai di atas, kuda dipasang lagi. Mereka menginap semalam di Ambarawa di rumah famili untuk meneruskan perjalanan keesokan harinya menuju Magelang.
Naksir Gadis Hijau
Waktu itu penduduk Magelang berjumlah 20.000 orang, di antaranya 2.400 penduduk Cina dan 200 Eropa. Tiauw Ting mulai berdagang kecil-kecilan dan Piring membuka toko. Usahanya berjalan lancar. Dua tahun setelah menikah lahirlah anak laki-laki. Akhirnya, mereka dikaruniai sepuluh anak, enam laki-laki dan empat perempuan.
Nasib Tiauw Ting terlalu baik. Namun, malapetaka melandanya seperti sambaran petir di siang bolong. Di Semarang ia sempat berkenalan dengan Oei Tjie Sien, yang datang dengan jung sebelumnya. Tjie Sien yang mendirikan perusahaan Kian Gwan adalah cina kolot. Lain dengan putranya, Oei Tiong Ham, yang terkenal mata keranjang. Ketika berkunjung ke Magelang, ia berkenalan dengan putri sulung Tiauw Ting, Kiem Hong. Karena diiming-imingi kehidupan enak, Kiem Hong berhasil dibujuk untuk lari. Namun setelah beberapa tahun ia sudah dicampakkan dari posisi gundik favorit. Di makam Tiauw Ting, nama Kiem Hong tidak disebut.
Salah seorang anak laki-laki Tiauw Ting ialah Tjing Lien yang menikah dengan Sik Nio alias Wineh, nama Jawanya. Itulah kakek dan nenek Oei Hong Kian (OHK). Dua tahun setelah menikah mereka mendapat anak laki-laki pada hari capgome, tepatnya tanggal 16 Februari 1897. Ia diberi nama Oei Kok Poo, yang tidak lain ayah OHK.
Oei Hong Kian sendiri dilahirkan 23 Februari 1921 sebagai anak sulung. Sejak kecil ia bukan anak yang manis. Diam-diam ia pernah ikut tukang kebun untuk menonton permainan Nini Thowok (semacam jailangkung) pada malam hari. Malah sewaktu tinggal di rumah kakeknya di Magelang, ia pernah mengisap cerutu kakek sampai mabuk, menggunting rambut gadis tetangga, dan bermain di tanah kosong ditemani Koos – salah seorang pembantu di rumah kakeknya – kalau sedang malas bersekolah.
Setelah lulus Hollands Chinese School (HCS) di Magelang, ia masuk Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Waktu itu ia kos pada seorang Belanda, pedagang sepeda, yang menikah dengan seorang wanita Jepang. Di HBS itulah ia diam-diam menaruh hati pada Evergreen, gadis cina yang sering memakai pakaian hijau. Waktu itu OHK masih merasa sebagai orang udik lagi pemalu. Kekaguman itu ia simpan dalam-dalam. Setiap sore ia lewat di muka rumahnya untuk mencoba melihat gadis pujaannya itu barang sejenak. Perhatiannya pada gadis itu ternyata ketahuan juga. Sedikitnya oleh salah seorang dari sekian banyak pengagum Evergreen. Jantje Liem, yang terkenal jago berkelahi, rupanya merasa OHK melangkah terlalu jauh. Tiba-tiba saja Liem merenggutnya dari sepeda dan memukulinya. OHK pun merasa tergugah untuk berkelahi demi Evergreen.
Namun rupanya Evergreen memang bukan jodohnya. OHK lalu berkenalan dengan calon istrinya kelak, Hermien, yang tujuh tahun lebih tua. Perkenalan atas inisiatif Kiem Soei, teman sekolah OHK yang lebih tua dan lebih matang darinya itu, berlangsung di pasar malam di Semarang. Itulah pertama kalinya OHK pergi dengan perempuan. Perbedaan usia yang cukup mencolok – sebaya dengan bibinya yang setiap hari memandikan OHK ketika masih tinggal di rumah kakeknya – bukan soal besar bagi mereka.
Ketika lulus HBS, ia sebetulnya ingin ke Belanda untuk meneruskan pelajaran. Namun sudah keburu pecah Perang Dunia II di Eropa. Ia akhirnya mendaftarkan diri di STOVIT, sekolah pendidikan kedokteran gigi di Surabaya. Salah seorang asisten waktu itu ialah drg. Moestopo, yang kemudian mendirikan Universitas Prof. Dr. Moestopo. OHK belum lulus ketika Jepang masuk. Lalu ia pulang ke Magelang. Mien – panggilan akrab Hermien – waktu itu tinggal di Yogya.
Melanjutkan sekolah di Belanda
Masa pendudukan Jepang sangat menjemukan karena ia terpaksa menganggur. Usaha untuk memulai sesuatu gagal. Untung ia mempunyai teman yang membeli barang orang Belanda yang perlu uang. Di antara barang-barang itu ada banyak piringan hitam yang diputar pada malam hari bersama teman-teman.
Selama itu hubungan dengan Mien di Yogya berjalan terus. Di kediaman Mien itu ia bertemu dengan Raden Mohammed Achmad, bupati Kuningan, ayah Mr. Maria Ulfah Santoso, yang baru saja diangkat menjadi menteri sosial dalam Kabinet Sjahrir kedua. Ibu Mien kadang-kadang membantu mereka, misalnya secara bekala membelikan beras bermutu baik.
Adik-adik Mien membuka toko kecil yang sering didatangi kaum muda Indonesia. Dari sana Mien mendapat seorang pelanggan yang tidak lain calon Ny. Hatta, yang nantinya menjadi istri wakil presiden Republik Indonesia. Mien diminta menjahitkan baju pengantinnya.
Pada tanggal 29 Juli (’45 atau ’46?) di Yogya OHK kedatangan temannya yang sakit TBC. Temannya itu ingin mengunjungi pacarnya di Surabaya. Pak Achmad yang kebetulan mendengar percakapan itu keesokan harinya mengatakan bahwa tanggal 31 Juli teman yang sakit itu bisa menumpang kereta api ke Batavia. Ia akan membantu untuk memperoleh izin khusus hari itu juga. Pada tanggal 31 pagi buta OHK didatangi Pak Achmad dengan saran apakah ia tidak mau ikut ke Batavia juga, gratis.
Jelas, OHK tidak mempunyai waktu untuk pamit pada orang tuanya di Magelang. Pada pukul 23.15 hari itu juga ia bersama Mien berangkat naik andong ke Stasiun Tugu, yang remang-remang hampir kosong. Kereta api menurut rencana akan berangkat pukul 24.00. Namun ternyata kereta api baru tiba pukul satu lebih. Mereka hanya naik kereta api sampai Cirebon. Dari situ mereka dinaikkan kapal tangker berawak Jepang ke Batavia. Di situ Mien ditampung teman dan OHK tinggal bersama temannya yang sakit di tempat lain.
Lalu harus ngapain di Batavia? STOVIT tidak dibuka lagi dan di Batavia tidak ada sekolah dokter gigi. OHK menulis surat ke Utrecht apakah ia bisa meneruskan pelajaran di sana. Ternyata mungkin, tetapi bagaimana agar sampai di Belanda? Ia disarankan untuk menghubungi palang merah dan disarankan untuk minta bea siswa Malino. Namun saran itu ditolak. Untung mereka akhirnya bisa berangkat juga naik kapal Kota Inten sebagai pembantu di bagian rumah tangga kapal.
Namun sebelumnya mereka bermaksud untuk menikah dulu. Itu terjadi pada tanggal 2 September 1946. Mereka naik kapal pada 8 Oktober dan pada 2 November kapal Kota Inten dihela kapal tunda memasuki Nieuwe Waterweg. Dua hari kemudian mereka sudah mendapat pemondokan di Utrecht tanpa kamar mandi, sehingga mereka harus membayar 25 sen untuk mandi di tempat mandi umum.
Dekan yang khusus mengurusi mahasiswa memberinya persekot tanpa bunga dari pemerintah. Uang itu harus dibayar kembali setelah lulus kepada pemerintah Indonesia. Dengan tunjangan 100 gulden dan kiriman uang bulanan dari orang tuanya, mereka bisa hidup pas-pasan. Uang kuliah sebesar 335 gulden cukup dibayar dengan menandatangani surat utang.
Akhir bulan April ternyata Mien hamil. Biarpun keuangan masih sulit, berita itu disambut dengan gembira. Kedatangan si kecil juga menjadi dorongan untuk menyelesaikan studinya secepat mungkin. Selain itu ia juga sudah mengajukan permintaan pinjaman besar untuk membeli peralatan kedokteran gigi. Kalau dikelola dengan cermat, masih ada sisa sedikit untuk si kecil. Bayi itu lahir pada 12 Desember 1947 dan pada 17 Desember OHK lulus sebagai dokter gigi.
Pasiennya orang-orang besar
Pada 5 Januari 1949 OHK sudah menerima surat dari Kementerian Kawasan Seberang Laut untuk dikirim ke Indonesia. Namun sebelumnya ia ingin berpraktik dulu di Belanda.
Setelah keadaan politik di Indonesia membaik, mereka akhirnya mengambil keputusan untuk kembali ke Indonesia. Tepatnya pada 21 Desember 1949 mereka diantar sanak keluarga naik kapal Willem Ruys. Dari atas geladak mereka melihat keluarga Mien dan keluarga Oei sedang menunggu di pelabuhan Batavia untuk menyambut mereka.
Di Jakarta mereka tinggal di rumah yang disewa oleh orang tua Mien. Untung ia cepat mendapat pekerjaan. Seorang rekan memberi kesempatan bekerja di tempat pratiknya kalau tidak sedang dipakai. Selama itu Mien terus mencari tempat tinggal, yang waktu itu susah karena perumahan masih diatur oleh Huisvesting Organisatie Batavia (HOB). Namun secara kebetulan Mien berhasil menemukan rumah di Jln. Serang 12 (sekarang Jln. Syamsuridzal??) persis menurut ramalan ketika ia masih di Belanda.
OHK langsung membuka praktik dan di luar dugaan laris. Banyak di antara pasiennya namanya sekarang menghiasi jalan-jalan di Jakarta seperti Jln. Sutan Sjahrir, Jln. Rasuna Said, Jln. Soekardjo Wirjopranoto, Jln. Suwirjo, Jln. S. Parman, Jln. Syamsuridzal, dsb.
Tidak lama kemudian ia giat dalam organisasi Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Dibentuklah tim nasional yang terdiri atas rekan Abdulkadir, Soeria Soemantri, Soelarko, Jetty dan Rizali Noor, Slamet Sudomo, dan OHK.
Ia juga sempat ikut membangun kedokteran gigi di Indonesia. Ketika tahun 1950 Indonesia mengambil alih bidang kedokteran gigi dari Belanda, hanya ada 120 dokter gigi, termasuk orang Belanda, untuk melayani lebih dari 72 juta penduduk. Peralatan material dan obat-obatan tidak ada. Dokter gigi hanya ada di kota-kota besar.
Dalam buku yang ditulis seorang dokter gigi Jerman ia membaca, “Jangan membuat teman Anda menjadi pasien, tetapi jadikanlah pasien teman Anda”. Kalimat itu dia perhatikan dengan betul.
Sayangnya, lebih dari sekali ia mengalami pasiennya ditangkap tanpa proses karena keyakinan politiknya. Salah satunya ialah Mochtar Lubis. Koran di mana ia menjadi pemimpin redaksinya dibredel, dan ia dijemput dari rumah tanpa sempat pamit pada istrinya. Untung mereka masih bisa bertemu seperempat jam dalam praktiknya.
Dari pasiennya OHK sering menerima bunga dan kue pada hari raya. Dari Priyono, Adam Malik, Herawati Diah, Djatikusumo, dan banyak lagi yang kembali ke Jakarta setelah menjadi dubes ia mendapat oleh-oleh. Pernah ia mendapat lemari es dan AC dari seorang pasien.
Pernah pula ia menemukan sebuah akuarium iklan laut yang sangat indah di ruang keluarganya. Pengirimnya ternyata dubes Arab Saudi. Dalam kartu yang menyertainya, ia meminta agar ikan-ikan itu dipelihara. Ia dipanggil pulang untuk menduduki jabatan penting saat baru dua bulan bertugas di Jakarta.
Mayjen S. Parman tak balik lagi
Untuk merawat gigi, karyawan Kedutaan Amerika boleh pergi ke pangkalan Amerika di Filipina. Pada suatu hari tiba-tiba Dubes Howard Jones menderita sakit gigi hebat. Dubes Inggris yang sudah berjanji untuk datang merawatkan gigi ke tempat praktiknya merelakan janjinya untuk rekan sejawatnya. Sejak itu Pak Dubes Amerika menganggap, karyawan kedutaan tidak perlu ke Filipina untuk merawat atau menyembuhkan sakit gigi.
Hubungan baik dengan pasien itu juga diteruskan di luar negeri. Ketika pada musim panas tahun 1957 OHK dan Mien berlibur ke Belanda, dalam perjalanan kembali ke Indonesia mereka menginap di kediaman teman mereka Bambang Soegeng yang waktu itu dubes Vatikan. Kala itu mereka berkesempatan beraudiensi dengan Sri Paus.
Selasa 28 September 1965 Mayjen S. Parman duduk di kursi kamar praktiknya. Perawakannya kecil, tetapi mutunya tinggi. Ia asisten I KSAD. Hobinya bermain dengan kereta api mini. Pada hari Senin itu ia datang untuk memasang “jembatan” pada giginya. Ketika diminta kembali seminggu lagi untuk diperiksa, ia menjawab bahwa ia tidak bisa datang sepanjang bulan Oktober karena akan sibuk sekali. Supaya sempat datang, ia diberi OHK waktu khusus yaitu pukul 15.45 hari Kamis 30 September. “Jembatan” itu ternyata baik. Setiba di rumahnya ia menulis pesan di papan di dinding kamar kerjanya agar asistennya membayarkan rekening dokter gigi. Subuh tanggal 1 Oktober ia dijemput Cakrabirawa dengan alasan dipanggil menghadap Presiden Soekarno.
Ketika sore harinya pukul 16.00 OHK membuka praktik, setengah jam kemudian datang ajudan Jenderal Parman untuk membayar rekening bosnya. Katanya, pukul 04.30 Pak Jenderal dipanggil Presiden Soekarno dan sampai saat itu belum pulang. Baru setelah praktik selesai, OHK tahu bahwa enam jenderal dan seorang kapten telah dibunuh.
Merawat gigi Soekarno
Suatu pagi di awal tahun 1967 ia dikunjungi dr. Tan, dokter pribadi Presiden Soekarno. Katanya, Bung Karno sakit gigi. Tawaran itu diterima dan ia langsung diajak ke istana. Alangkah kagetnya ketika ternyata peralatan di sana sudah kuno, berasal dari gudang NICA, warisan Belanda. Terpaksa peralatan miliknya bolak-balik dibawa ke istana naik truk. Setelah perawatan selesai, OHK tidak boleh langsung pulang. Ia diminta untuk minum teh dulu ditemani cemilan pisang goreng.
Setelah Sidang Istimewa MPRS tanggal 7 – 12 maret 1967 diputuskan untuk menarik kembali mandat yang mereka berikan kepada Pemimpin Besar Revolusi, BK harus keluar dari Istana Merdeka dan mendapat tahanan rumah di Bogor.
OHK sudah tidak mengira akan bertemu dengan BK lagi. Permulaan 1967 ia mendapat kunjungan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai doker pribadi BK. Katanya, BK ingin dirawat lagi dan akan datang ke tempat praktik di rumah. Ternyata BK datang naik Mercedes 600 dengan kawalan ketat.
Waktu itu tahun 1968. OHK sudah mengambil keputusan untuk pindah ke Belanda dan saat itu sudah dekat. Ketika BK datang bulan Maret, akan dia beri tahu tentang keputusan itu. Ketika itu BK perlu tambalan emas yang harus dicor dulu. Mereka berjanji tanggal 21 Maret akan kembali. OHK lupa bahwa tanggal 21 Maret ada sidang MPR yang berlangsung sampai 30 Maret. Tanggal 21 Maret BK tidak bisa datang. Juga tidak hari-hari berikutnya. Padahal pada 30 Maret mereka sudah harus berangkat. Jadi, tidak sempat pamit.
Kehidupan di Belanda sangat berbeda dibandingkan dengan di Indonesia dan nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tuanya. Semua sudah begitu teratur, sehingga kehidupan bisa diibaratkan kali kecil yang mengalir dengan tenang. Namun cara berpikir Belanda yang tanpa tabu dan semua boleh, juga merupakan perubahan besar. Alangkah kagetnya ketika putrinya berkata bahwa ia ingin tinggal sendiri dan tidak mau diatur oleh oang tua.
Putri-putrinya sekarang sudah menikah dan mempunyai anak. Cucu perempuan sulungnya bahkan sudah belajar ekonomi. Putranya tidak mau mempunyai anak. Dengan temannya ia merasa sudah mendapat cukup hiburan dari delapan kemenakannya. Istrinya waktu buku ini ditulis juga sudah mulai sakit-sakitan dan bahkan kemudian meninggal.
Buku itu diakhiri dengan napak tilas ke tempat leluhurnya berasal. Total ia pergi ke Cina empat kali bersama Mien, istrinya. Pada kunjungan kedua tahun 1983, begitu tiba di Xiamen, ia langsung menghubungi kantor Huakiau. Ia membawa salinan ijazah sekolah ayahnya. Di situ ditulis bahwa kakeknya berasal dari Shimajie, Longxi, Zhangzou di Propinsi Fujian.
Dalam perjalanan dilihatnya pemandangan yang identik dengan daerah antara Magelang dan Yogya. Di mana-mana ada kebun tebu. Andaikata rumah Cina itu diganti dengan rumah Indonesia, seakan-akan mereka berada di sekitar Muntilan. Sayang mereka tidak bisa menemukan rumah keluarga nenek moyangnya. Tapi sekolahnya masih ada.
Pemandu juga menemani mereka ke kaki sebuah bukit tempat mereka bisa melihat kota pelabuhan Amoy. Mungkin itu bukit tempat kakek buyutnya merenung sebelum memutuskan beremigrasi ke Nanyang.
Untuk menelusuri jejak kakek buyut, mereka memutuskan kembali ke Hong Kong dengan kapal. Pada 1 November 1983 mereka menumpang kapal motor Gulangyu. Mereka melewati Pulau Gulangyu yang bagus ketika keluar dari teluk. Pada sisi kanan mereka melihat pegunungan di Fujian Selatan yang bertambah lama bertambah kecil. Saat itu ia menjadi lebih yakin bahwa kakek buyutnya itu memang orang pemberani.
Terima kasih