Suka Duka Saat Co Ass Dokter Gigi

Ditulis oleh : Hana Hanifah Misbach
http://hanahanifahmisbach.blogspot.co.id/
Tulisan ini diawali oleh email dari seorang pembaca blog saya yang membagikan kegalauannya pada saya seputar kuliah kedokteran gigi. Satu pertanyaan darinya yang menggelitik saya. “Menjadi koas susah nggak, mbak?”
Ini pertanyaan bagus sekaligus dilematis bagi saya. Bagaimana tidak, saya sendiri sudah 6 bulan menjadi koas dengan segala suka dan dukanya. Banyak hal yang mungkin terlewat saya bagikan di blog ini. Tapi saya percaya, segala proses ini menjadikan saya matang dan terampil sebelum nantinya saya terjun di dunia kerja yang sesungguhnya.
Jadi, untuk yang ingin tahu bagaimana dunia koas, untuk adik-adik mahasiswa baru kedokteran gigi atau mahasiswa ‘tua’ yang sedang bersiap menjalani koas, saya akan bagikan suka dan dukanya di sini. Check these out!
Duka menjadi koas yang pertama adalah kendala dalam memenuhi requirement. Bagi mahasiswa kedokteran gigi, pasti sudah tidak asing lagi bahwa pada saat koas kita diwajibkan untuk mengerjakan sejumlah requirement tertentu sebelum diuji dan dinyatakan lulus dalam stase tertentu.
Misalnya, pada stase bedah mulut di FKG Unair, selama 3 bulan kami diharuskan untuk mencabut minimal 20 gigi, diagnosa 5 kasus mudah dan 3 kasus sulit, 8 kali operasi, dan 8 kali kontrol dengan poin minimal 450. Artinya, jika kami tidak memenuhi syarat tersebut, kami tidak diperbolehkan mengikuti ujian profesi dan dinyatakan tidak lulus pada stase tersebut.
BACA : #UKDGI 3 : OSCE : Batu Sandungan Dokter Gigi Baru Untuk Lulus UKDGI
Kendala memenuhi requirement tersebut diperparah dengan kondisi di mana jumlah pasien yang berkunjung ke rumah sakit tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa koas. Bayangkan saja, jika dalam sehari pasien yang berkunjung di poli bedah hanya 10-15 orang, sementara mahasiswa dalam satu stase berjumlah 22-44 orang, bagaimana kami bisa berpangku tangan mengandalkan pasien yang datang sendiri? Alhasil, jangan heran jika mahasiswa koas selalu bersemangat berpromosi dan menghubungi sana sini setiap orang yang mungkin membutuhkan perawatan gigi dan terindikasi untuk dijadikan pasien.
Cara apapun akan ditempuh oleh mahasiswa koas demi mendapatkan pasien. Mulai dari cara yang indah dan penuh modus seperti pemeriksaan gigi gratis di universitas atau fakultas tetangga, broadcast via sosial media pada teman-teman lama bahkan hingga orang tak dikenal sekalipun, keluar masuk gang sempit di hari libur untuk menawarkan jasa perawatan gigi (That’s why FKG sering disebut Fakultas Keluar-masuk Gang), hingga memakai jasa calo yang super mahal. Untuk masalah calo ini akan saya bahas di topik lain nanti.
Duka yang kedua adalah mahalnya biaya koas. Hitungan mahal ini bukan dari biaya akademik, melainkan biaya tak terduga yang bisa datang kapan saja. Seperti biaya alat, biaya laboratorium, biaya bahan tambahan yang diperlukan namun tidak disediakan oleh rumah sakit, serta seringkali biaya untuk perawatan pasien.
Biasanya mahasiswa koas akan dengan sadar diri membayar biaya perawatan bagi pasien yang datang ke Rumah Sakit atas ajakannya. Sementara untuk pasien yang datang atas kemauan sendiri biasanya dengan sukarela membayar biaya perawatan sendiri. Biaya tak terduga lain misalnya biaya makan siang dengan pasien, pulsa untuk menghubungi pasien, dan sebagainya.
Saya rasa kedua masalah tadi adalah masalah massive yang klasik dan abadi yang dialami oleh mahasiswa koas. Sementara masalah lain seperti ‘diamuk’ oleh dosen atau senior, kelelahan setelah seharian bekerja yang ditambah dengan tugas dan kewajiban belajar di malam harinya, dan sejenisnya adalah konsekuensi pekerjaan yang ‘wajib’ dialami mahasiswa koas.
Tapi, jangan berkecil hati dulu. Bukan berarti tidak ada suka selama menjadi koas. Koas adalah gerbang awal menuju dunia kerja, di mana Anda akan bertemu dengan orang-orang baru yang Anda hadapi secara professional. Dari situ Anda bisa mengukur sejauh apa kemampuan komunikasi interpersonal yang Anda miliki, sejauh apa trust yang diberikan pasien pada Anda, dan seberapa terampil Anda menghandle masalah kesehatan gigi pasien Anda.
Dan jika Anda beruntung, barangkali Anda akan menemukan jodoh Anda selama menjadi pasien. Hahaha….. Bisa jadi Anda akan ‘cinlok’ dengan dosen Anda, senior Anda, kakak tingkat Anda, atau bahkan pasien Anda sendiri. Who knows?
Tapi yang paling penting adalah, koas melatih Anda untuk menjadi professional di bawah supervisi universitas dan rumah sakit. Jika Anda melakukan kesalahan kerja, Anda masih dalam tanggung jawab dua instansi tersebut. Sebelum nantinya Anda dinyatakan lulus dan dilepas di lingkungan kerja yang menuntut Anda untuk bertanggung jawab sendiri terhadap apa yang Anda lakukan pada pasien Anda.
Pendek kata, menjadi koas tidak seseram yang Anda bayangkan. Merasa takut dan khawatir itu wajar. Tapi yang harus kita yakini, Tuhan selalu memberikan solusi dan jalan di ujung ketakutan dan kekhawatiran tersebut. Kita sudah berada pada titik yang sejauh ini. Tidak perlu terlalu berambisi untuk menjadi dokter gigi. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha dan berdoa, serta bekerja dengan penuh cinta. Dan jangan lupa doakan pasien-pasien kita agar diberi kemudahan sebagaimana mereka memudahkan jalan kita. Mereka adalah guru yang sebenarnya. Tanpa mereka, kita tidak dapat menjadi pandai dan luar biasa kelak. Kalau pada akhirnya seluruh kewajiban sudah dapat kita penuhi, dan gelar dokter kita dapatkan, anggap saja itu bonus.
Sumber tulisan :
http://hanahanifahmisbach.blogspot.co.id/